Selasa, 25 Februari 2014

Dua Cara Pematematikaan



Adalah Treffers (1978, 1987) yang menempatkan dua cara pematematikaan dalam sebuah perspektif baru, yang mana menyebabkan Freudenthal mengubah pemikirannya dengan lebih baik. Treffers merumuskan ide dari dua cara pematematikaan ini dalam suatu konteks pendidikan. Dia memberikan istilah pematematikaan secara ‘horisontal’ dan ‘vertikal’. Secara umum pembahasan pengertian dari dua bentuk pematematikaan ini adalah sebagai berikut. Pada kasus pematematikaan secara horisontal, peralatan matematis diajukan dan digunakan untuk mengorganisasikan dan menyelesaikan sebuah permasalahan yang dikondisikan dalam kehidupan sehari-hari. Pematematikaan secara vertikal, secara berlawanan, menunjukkan semua macam rumusan ulang dan operasi hitung yang dilakukan siswa dalam sistem matematika itu sendiri. Dalam bukunya yang terakhir, Freudenthal (1991) mengadopsi perbedaan dua cara pematematikaan Treffers, dan menyatakan pengertian keduanya sebagai berikut: untuk mematematikakan secara horisontal berarti berangkat dari dunia kehidupan menuju dunia simbol, dan untuk mematematikakan secara vertikal berarti bergerak dalam dunia simbol. Yang terakhir menyatakan secara tidak langsung, sebagai contoh, membuat pemintas dan menemukan hubungan antara konsep dan strategi dan memperoleh kegunaan penemuan ini. Freudenthal menegaskan bahwa, bagaimanapun, perbedaan antara kedua dunia ini jauh dari kejelasan, dan bahwa, dalam pandangannya, dunia ini tidaklah, dalam kenyataannya, terpisah. Selain itu, dia menemukan dua bentuk pematematikaan untuk menjadikan nilai yang sama, dan menekankan fakta bahwa kedua aktivitas bisa ditempatkan pada semua level kegiatan matematis. Dengan kata lain, sejajar pada level kegiatan berhitung, sebagai contoh, kedua bentuk mungkin terjadi.
Meskipun Freudenthal mengenalkan beberapa nuansa penting dalam formulasi dari dua cara pematematikaan ini, hal ini tidak mempengaruhi dasar (baca: inti) klasifikasi Treffers atau signifikansinya. Lagi pula, Treffers menilai dengan jelas bahwa RME secara jelas membedakan dirinya, di luar fokus pada dua cara pematematikaan ini, dari pendekatan-pendekatan lain (yang kemudian berlaku) pada pendidikan matematika. Menurut Treffers (1978, 1987, 1991) suatu pendekatan yang empiris hanya fokus pada pematematikaan secara horisontal, ketika suatu pendekatan yang strukturalis membatasi diri pada pematematikaan secara vertikal, dan dalam suatu pendekatan yang mekanis keduanya tidak ada. Seperti yang Treffers dan Goffree (1985) tekankan, macam-macam pematematikaan dimana salah satunya berfokus pada pendidikan matematika mempunyai konsekuensi penting bagi aturan model-model pembelajaran pada pendekatan yang berbeda pada pendidikan matematika, dan juga untuk macam-macam model pembelajaran yang digunakan.

Matematika sebagai Pematematikaan




Salah satu konsep dasar dari RME adalah ide Freudenthal (1971), yaitu matematika sebagai sebuah aktivitas manusia. Seperti telah disampaikan sebelumnya, baginya matematika bukanlah batang tubuh dari pengetahuan matematis, tetapi aktivitas dari penyelesaian masalah dan pencarian masalah, dan, lebih umumnya, aktivitas dari pengaturan persoalan nyata atau persoalan matematis – yang dia sebut ‘matematisasi’ (Freudenthal, 1968). Dalam bentuk yang sangat jelas, dia mengelompokkan apa itu matematika bahwa: “Tidak ada matematika tanpa pematematikaan” (Freudenthal, 1973, hal. 134).
Interpretasi matematika berdasarkan aktivitas ini juga memiliki konsekuensi penting bagaimana pendidikan matematika dikonseptualisasikan. Tepatnya, hal ini memberikan pengaruh pada tujuan pendidikan matematika dan metode pengajarannya. Menurut Freudenthal, matematika bisa lebih baik jika dipelajari dengan melakukan sesuatu (ibid., 1968, 1971, 1973) dan pematematikaan adalah tujuan inti pendidikan matematika.

Apa yang manusia hatus pelajari bukanlah matematika sebagai sistem tertutup, tetapi lebih sebagai sebuah aktivitas, realitas proses pematematikaan dan jika mungkin melengkapinya dengan mematematikakan matematika.                                                                                                         (Freudenthal, 1968, hal. 7)

Meskipun Freudenthal pada tulisan awalnya secara jelas menunjuk pada dua macam pematematikaan, dan dia membuatnya lebih jelas bahwa dia tidak ingin membatasi pematematikaan pada sebuah aktivitas di level dasar, dimana hal itu diterapkan untuk mengorganisasikan persoalan yang tidak matematis dengan sebuah cara matematis, fokus utamanya adalah pada mematematikakan realitas dalam pengertian sebenarnya. Dia tidak sepakat terhadap adanya pemutusan hubungan matematika dari kehidupan yang nyata dan pengajaran aksioma-aksioma yang sudah jadi (Freudenthal, 1973).

Senin, 17 Februari 2014

Menemukan Keadaan Matematika



Jika tujuan instruksi matematika adalah memungkinkan siswa untuk mematematikakan realitas kehidupan mereka, maka keadaan-keadaan dengan kemungkinan untuk meningkatkan kemampuan matematika perlu didesain (atau ditemukan) dengan hati-hati. Menganjurkan siswa menjadi pelajar yang matematis—melihat diri mereka sebagai matematikan—kita perlu menyertakan mereka dalam membuat pengertian di dunia mereka secara matematis. Secara kebiasaan, kita telah menyampaikan kepada siswa bahwa matematika ada di sekitar kita—meskipun begitu kita memberikan contoh-contoh yang mudah, seperti menemukan tanda-tanda bilangan pada nomor telepon dan alamat rumah atau memperlihatkan bentuk geometri pada makanan, mangkok, kotak, dan objek-objek lainnya di lingkungan kita.
Keadaan-keadaan tersebut ada kemungkinan untuk dimatematikakan oleh siswa paling tidak pada tiga komponen:
1.      Kemampuan untuk memodelkan keadaan-keadaan harus dibangun (Freudenthal, 1973). Skenario cerita bus dan kereta api bawah tanah dimana orang-orang datang dan pergi dapat dimodelkan dengan menambahkan dan mengurangkan—penambahan dan pengurangan. Skenario cerita toko makanan dan toko eceran, mengumpulkan data dan menemukan cara untuk mengelompokkannya, menginventaris benda-benda di kelas, bahkan permainan papan dan permainan kartu, semua mempunyai kemungkinan untuk membentuk model matematika.
2.     Keadaan tersebut diperlukan siswa untuk menyatakan apa yang mereka lakukan. Seorang anak menggambar sebuah kalung dengan dua puluh manik-manik dan menentukan apakah koin pelanggan bisa digunakan untuk membayarnya, menggambarkan atau mengimajinasikan matematika secara konkret dan bisa mengecek kelayakan jawaban-jawaban dan tindakan. Orang-orang Belanda menggunakan aturan zich realiseren, yang berarti “merealisasikan dalam hal menggambarkan atau mengimajinasikan sesuatu secara konkret (van den Heuvel-Panhuizen, 1996).
3.   Keadaan tersebut mendesak siswa untuk mengajukan pertanyaan, membentuk pola, ingin tahu, bertanya mengapa dan bagaimana jika. Inquiry adalah inti dari apa itu artinya menjadikan matematika. Pertanyaan datang dari interaksi dengan dunia sekitar kita, dari hubungan yang dibuat, dari percobaan untuk menemukan permasalahan. Ketika masalah itu dimiliki, keadaan itu mulai nampak hidup.

Jumat, 07 Februari 2014

Dengan PMRI Benarkah Kelasnya Menjadi Ramai?



(Ruchiatus Sun Aeni, Guru MIN Yogyakarta II)

Setelah PMRI diterapkan, banyak guru mengeluh kelasnya ramai, mengganggu kelas yang lain, apalagi yang jumlah muridnya lebih dari 30 anak. Hal ini kelihatannya membuat guru tidak enak dengan teman yang lain.
Sebelum menggunakan pendekatan PMRI, memang kita akui semua kelas tenang. Kalau ada suara yang terdengar dari luar kelas, hanyalah suara guru atau canda di kelas yang berlangsung tidak terlalu lama. Suasana tenang ini berlangsung amat lama sehingga menjadi tradisi. Banyak guru menyakini kelas yang tenang menunjukan gurunya pandai mengelolah kelas. Apakah ini benar?
Dalam pembelajaran matematika, siswa yang menemukan sendiri cara menyelesaikan masalah akan lebih bermakna dibandingkan siswa yang hanya mendapatkan dari guru. Memang tidak semua pokok bahasan/subpokok bahasan yang dapat ditemukan oleh siswa sendiri. Prinsip PMRI “guru bertindak sebagai fasilitator” bisa diterapkan di sini. Guru bukan lagi sebagai pusat informasi. Jika guru tidak lagi sebagai center, maka pastilah terjadi proses yang lebih panjang bagi siswa yang aktif menemukan sendiri. Pada saat inilah, siswa tidak lagi diam di mejanya sendiri, tetapi butuh orang lain untuk menyelesaikan masalah yang diberikan oleh guru atau butuh alat untuk menyelesaikannya.  
Untuk kelas I dan II, awalny memang terlihat ramai. Setelah berlangsung beberapa bulan, anak terkondisi terbiasa bekerjasama dengan orang lain tanpa menimbulkan suara gaduh. Hal ini dialami oleh guru kelas I dan II MIN Yogyakarta II. Memang tidak mudah menerapkan PMRI di kelas, yang mereka lakukan antara lain;

  • ·         Membuat kesepakatan dengan anak tentang sangsi-sangsi jika melanggar aturan;
  • ·         Tempat duduk dibuat berkelompok empat-empat;
  • ·         Guru terbiasa berbicara wajar di kelas;
  • ·         Pada saat anak mengemukakan pendapatnya, guru mendengarkan dengan seksama;
  • ·         Guru tidak sering mengulangi ucapannya, bahkan hanya satu kali saja;
  • ·         Anak dibiasakan untuk menghargai orang yang berbicara.

Hal tersebut dilakukan terus menerus sehingga terbentuk pola situasi yang kondusif. Semua pengalaman yang dialami oleh guru-guru MIN Yogyakarta II selama menerapkan PMRI mungkin dapat diterapkan oleh guru-guru yang akan menerapkan PMRI di sekolahnya.

Sumber            : Buletin PMRI edisi VI-Februari 2005 hal. 6

(Eka Santi Wahyuni, Mi’roj Muntaha dan Suhariyati)