Senin, 10 Maret 2014

POLA-POLA DALAM PENGEMBANGAN NORMA




Terdapat paling sedikit tiga strategi yang guru gunakan untuk mengembangkan norma matematika.

Menggunakan Pekerjaan Siswa
Guru menjelaskan suatu norma dengan menggunakan pekerjaan siswa sebagai sebuah contoh dari apa itu yang disebut norma.
Sejak beberapa norma menjadi suatu keumuman, norma tersebut dapat dikomunikasikan dengan hanya istilah umum seperti “dalam suatu penjelasan matematis kamu tidak bisa menuliskan apa yang kamu miliki jika belum menunjukkan bahwa itu benar”. Tetapi guru dalam studi ini membicarakan tentang norma-norma hampir selalu dengan menggunakan pekerjaan siswa. Di samping itu, guru tidak menggunakan contoh buatan: Dia selalu menggunakan pekerjaan yang sebenarnya dari siswa.

Membuat Sebuah Perbandingan
Terkadang guru membiarkan seluruh siswa di kelas untuk membandingkan kedua pekerjaan mereka di papan tulis, dan menunjukkan bahwa salah satunya mengikuti sebuah aturan dengan baik, dan yang lainnya tidak melakukannya dengan baik. Kemudian, guru meminta siswa untuk mengikuti aturan.
Hal ini tampak sesuai dengan “neriage”, yang mana adalah suatu strategi instruksional yang umum digunakan pada tingkat SD di Jepang. Guru SD Jepang sering meminta siswa untuk menggambarkan ide atau solusi dari mereka sendiri di papan tulis. Kemudian membandingkan tulisan mereka, siswa mendiskusikan apa yang mereka ulas dari ide atau solusi tersebut. Proses dari diskusi komparatif ini disebut “neriage” (meremas/menguli/mengadoni). Sejak “neriage” menyertai diskusi komparatif, hal ini bukanlah sebatas “berbagi ide” (McClain & Cobb, 2001, hal. 247)

Memperhatikan Siswa yang Tidak Mengikuti Suatu Aturan
Guru sering membahas tentang pekerjaan siswa yang tidak mengikuti suatu aturan. Ketika mengerjakannya, dia mengambil langkah hati-hati untuk mengurangi bahaya kerusakan secara psikologis dan sosial dari siswa tersebut.

Selasa, 25 Februari 2014

Dua Cara Pematematikaan



Adalah Treffers (1978, 1987) yang menempatkan dua cara pematematikaan dalam sebuah perspektif baru, yang mana menyebabkan Freudenthal mengubah pemikirannya dengan lebih baik. Treffers merumuskan ide dari dua cara pematematikaan ini dalam suatu konteks pendidikan. Dia memberikan istilah pematematikaan secara ‘horisontal’ dan ‘vertikal’. Secara umum pembahasan pengertian dari dua bentuk pematematikaan ini adalah sebagai berikut. Pada kasus pematematikaan secara horisontal, peralatan matematis diajukan dan digunakan untuk mengorganisasikan dan menyelesaikan sebuah permasalahan yang dikondisikan dalam kehidupan sehari-hari. Pematematikaan secara vertikal, secara berlawanan, menunjukkan semua macam rumusan ulang dan operasi hitung yang dilakukan siswa dalam sistem matematika itu sendiri. Dalam bukunya yang terakhir, Freudenthal (1991) mengadopsi perbedaan dua cara pematematikaan Treffers, dan menyatakan pengertian keduanya sebagai berikut: untuk mematematikakan secara horisontal berarti berangkat dari dunia kehidupan menuju dunia simbol, dan untuk mematematikakan secara vertikal berarti bergerak dalam dunia simbol. Yang terakhir menyatakan secara tidak langsung, sebagai contoh, membuat pemintas dan menemukan hubungan antara konsep dan strategi dan memperoleh kegunaan penemuan ini. Freudenthal menegaskan bahwa, bagaimanapun, perbedaan antara kedua dunia ini jauh dari kejelasan, dan bahwa, dalam pandangannya, dunia ini tidaklah, dalam kenyataannya, terpisah. Selain itu, dia menemukan dua bentuk pematematikaan untuk menjadikan nilai yang sama, dan menekankan fakta bahwa kedua aktivitas bisa ditempatkan pada semua level kegiatan matematis. Dengan kata lain, sejajar pada level kegiatan berhitung, sebagai contoh, kedua bentuk mungkin terjadi.
Meskipun Freudenthal mengenalkan beberapa nuansa penting dalam formulasi dari dua cara pematematikaan ini, hal ini tidak mempengaruhi dasar (baca: inti) klasifikasi Treffers atau signifikansinya. Lagi pula, Treffers menilai dengan jelas bahwa RME secara jelas membedakan dirinya, di luar fokus pada dua cara pematematikaan ini, dari pendekatan-pendekatan lain (yang kemudian berlaku) pada pendidikan matematika. Menurut Treffers (1978, 1987, 1991) suatu pendekatan yang empiris hanya fokus pada pematematikaan secara horisontal, ketika suatu pendekatan yang strukturalis membatasi diri pada pematematikaan secara vertikal, dan dalam suatu pendekatan yang mekanis keduanya tidak ada. Seperti yang Treffers dan Goffree (1985) tekankan, macam-macam pematematikaan dimana salah satunya berfokus pada pendidikan matematika mempunyai konsekuensi penting bagi aturan model-model pembelajaran pada pendekatan yang berbeda pada pendidikan matematika, dan juga untuk macam-macam model pembelajaran yang digunakan.

Matematika sebagai Pematematikaan




Salah satu konsep dasar dari RME adalah ide Freudenthal (1971), yaitu matematika sebagai sebuah aktivitas manusia. Seperti telah disampaikan sebelumnya, baginya matematika bukanlah batang tubuh dari pengetahuan matematis, tetapi aktivitas dari penyelesaian masalah dan pencarian masalah, dan, lebih umumnya, aktivitas dari pengaturan persoalan nyata atau persoalan matematis – yang dia sebut ‘matematisasi’ (Freudenthal, 1968). Dalam bentuk yang sangat jelas, dia mengelompokkan apa itu matematika bahwa: “Tidak ada matematika tanpa pematematikaan” (Freudenthal, 1973, hal. 134).
Interpretasi matematika berdasarkan aktivitas ini juga memiliki konsekuensi penting bagaimana pendidikan matematika dikonseptualisasikan. Tepatnya, hal ini memberikan pengaruh pada tujuan pendidikan matematika dan metode pengajarannya. Menurut Freudenthal, matematika bisa lebih baik jika dipelajari dengan melakukan sesuatu (ibid., 1968, 1971, 1973) dan pematematikaan adalah tujuan inti pendidikan matematika.

Apa yang manusia hatus pelajari bukanlah matematika sebagai sistem tertutup, tetapi lebih sebagai sebuah aktivitas, realitas proses pematematikaan dan jika mungkin melengkapinya dengan mematematikakan matematika.                                                                                                         (Freudenthal, 1968, hal. 7)

Meskipun Freudenthal pada tulisan awalnya secara jelas menunjuk pada dua macam pematematikaan, dan dia membuatnya lebih jelas bahwa dia tidak ingin membatasi pematematikaan pada sebuah aktivitas di level dasar, dimana hal itu diterapkan untuk mengorganisasikan persoalan yang tidak matematis dengan sebuah cara matematis, fokus utamanya adalah pada mematematikakan realitas dalam pengertian sebenarnya. Dia tidak sepakat terhadap adanya pemutusan hubungan matematika dari kehidupan yang nyata dan pengajaran aksioma-aksioma yang sudah jadi (Freudenthal, 1973).

Senin, 17 Februari 2014

Menemukan Keadaan Matematika



Jika tujuan instruksi matematika adalah memungkinkan siswa untuk mematematikakan realitas kehidupan mereka, maka keadaan-keadaan dengan kemungkinan untuk meningkatkan kemampuan matematika perlu didesain (atau ditemukan) dengan hati-hati. Menganjurkan siswa menjadi pelajar yang matematis—melihat diri mereka sebagai matematikan—kita perlu menyertakan mereka dalam membuat pengertian di dunia mereka secara matematis. Secara kebiasaan, kita telah menyampaikan kepada siswa bahwa matematika ada di sekitar kita—meskipun begitu kita memberikan contoh-contoh yang mudah, seperti menemukan tanda-tanda bilangan pada nomor telepon dan alamat rumah atau memperlihatkan bentuk geometri pada makanan, mangkok, kotak, dan objek-objek lainnya di lingkungan kita.
Keadaan-keadaan tersebut ada kemungkinan untuk dimatematikakan oleh siswa paling tidak pada tiga komponen:
1.      Kemampuan untuk memodelkan keadaan-keadaan harus dibangun (Freudenthal, 1973). Skenario cerita bus dan kereta api bawah tanah dimana orang-orang datang dan pergi dapat dimodelkan dengan menambahkan dan mengurangkan—penambahan dan pengurangan. Skenario cerita toko makanan dan toko eceran, mengumpulkan data dan menemukan cara untuk mengelompokkannya, menginventaris benda-benda di kelas, bahkan permainan papan dan permainan kartu, semua mempunyai kemungkinan untuk membentuk model matematika.
2.     Keadaan tersebut diperlukan siswa untuk menyatakan apa yang mereka lakukan. Seorang anak menggambar sebuah kalung dengan dua puluh manik-manik dan menentukan apakah koin pelanggan bisa digunakan untuk membayarnya, menggambarkan atau mengimajinasikan matematika secara konkret dan bisa mengecek kelayakan jawaban-jawaban dan tindakan. Orang-orang Belanda menggunakan aturan zich realiseren, yang berarti “merealisasikan dalam hal menggambarkan atau mengimajinasikan sesuatu secara konkret (van den Heuvel-Panhuizen, 1996).
3.   Keadaan tersebut mendesak siswa untuk mengajukan pertanyaan, membentuk pola, ingin tahu, bertanya mengapa dan bagaimana jika. Inquiry adalah inti dari apa itu artinya menjadikan matematika. Pertanyaan datang dari interaksi dengan dunia sekitar kita, dari hubungan yang dibuat, dari percobaan untuk menemukan permasalahan. Ketika masalah itu dimiliki, keadaan itu mulai nampak hidup.