Jumat, 27 Agustus 2010

Melihat tak harus dengan matamu...

Aku seorang biasa, dengan sejuta cita-cita yang ku bangun untuk melengkapi denyut nadi kehidupan bahwa aku masih hidup dan berada di dunia ini. Aku dengan segala apa yang menempel pada diriku, yang selama ini aku aku sebagai milikku, meski sejatinya kita semua pun tahu apa yang ada pada diriku adalah kepunyaan Tuhanku. Sekilas saja aku tulis tentang diriku. Inilah aku.

Ada sebuah kisah menarik penuh hikmah ketika aku menjalankan ibadah puasaku saat ini, insya Allah. And the story begin...

***

2 minggu sudah puasa ini terlampaui, aku bersyukur dapat menjalankannya dengan sepenuh hati, Insya Allah, meskipun berbeda dengan puasa-puasa sebelumnya, karena sekalipun aku belum pernah merasakan berbuka bersama dengan keluarga di rumah. Setiap sore aku mengajar di sebuah TPQ Ramadhan (begitu kusebut karena hanya ada ketika bulan Ramadhan saja). Mulai dari jam empat sampai waktu berbuka hampir tiba.

Alhamdulillah, setiap pulang dari kegiatan mengajar, aku selalu dibekali ta'jil (makanan berbuka) berupa minuman sirup yang dibungkus dalam plastik dan jajanan anak-anak, sama seperti yang diterima oleh anak-anak yang mengaji di TPQ Ramadhan. Setiap hari selama bulan ini, begitu seterusnya aku jalani.

Dari hari pertama hingga hari ini, tak pernah sekalipun aku berbuka bersama keluargaku karena ketika adzan maghrib tiba aku masih menunggu angkutan yang lewat untuk mengantarku sampai ke rumah. Setiap hari aku berbuka di pinggir jalan, sekedar membatalkan puasaku.

Tapi dua hari yang lalu sungguh berbeda. Alhamdulillah, TPQ Ramadhan selesai lebih awal meskipun mungkin aku masih tidak bisa juga berbuka bersama keluarga, karena memang ternyata waktu berbuka telah tiba dengan ditandai sirine ketika aku masih berada di dalam kendaraan.

Aku pikir, nantilah, aku ingin sekali bisa berbuka puasa di rumah. Karena itu, kutahan diri karena beberapa menit lagi aku akan sampai di rumah.

Di tengah perjalanan, tiba-tiba ada seorang laki-laki berpakaian lusuh naik ke atas angkutan yang ku tumpangi. Tubuhnya gempal, berperawakan besar. Terlihat jelas dalam raut wajahnya, dia seorang pengangguran (mungkin) atau setidaknya seorang pekerja kasar. Aku tak mengerti apa yang ada dalam benak pikirannya saat itu, tiba-tiba dia tersenyum padaku dan mengatakan bahwa waktu berbuka sudah tiba. Aku pun hanya mengangguk dan membalas sedikit senyumnya.

“SKSD banget sich...” pikirku tiba-tiba. Astaghfirullah...

***

Ternyata memang tidak berhenti di situ saja, dia bertanya padaku apakah aku sudah berbuka atau belum, padahal di dalam angkutan itu juga ada seorang nenek dan ibu bersamaku. Kenapa tidak bertanya kepada mereka saja. Dan aku hanya tersenyum.

Sejurus kemudian dia mengangsurkan plastik kepadaku yang aku tahu isinya adalah makanan. Tidak, kutolak halus pemberiannya dan aku mengatakan padanya untuk memberikannya kepada nenek atau ibu itu, yang aku tahu ternyata mereka telah berbuka dengan bekal bawaan mereka sendiri.

Aku kira laki-laki itu akan berhenti di situ begitu saja, tak kusangka, dia menanyai semua penumpang yang ada dalam angkutan itu, adakah yang membawa permen. Dia bermaksud memintakannya untukku. Masya Allah...

Karena tidak ada yang membawa, dia angsurkan lagi kantong plastiknya. Dia katakan, ini mbak, makanlah sebagai pembatal puasa, Alhamdulillah saya sudah cukup berbuka dengan ini (sambil memperlihatkan plastik yang berisi minumannya dan sepotong tempe goreng). Karena aku masih terlihat menolak, akhirnya ia pun berujar, terimalah mbak, ini rezeki buat mbak, tidak baik menolaknya apalagi sampai menunda buka puasa. Dia taruh plastik itu di pangkuanku dan bergegas mencari bangku kosong.

Masya Allah, tak lupa aku ucapkan terima kasih. Apa yang aku pikirkan ini? Betapa picik sekali aku telah menilai orang yang telah berbaik hati padaku ini. Lihatlah, betapa dia begitu tulus dengan keluguannya untuk membantuku.

Dan akhirnya, ku nikmati juga sepotong bakwan goreng dari laki-laki itu. Nikmat sungguh karunia yang Allah berikan ini. Padahal aku telah berburuk sangka, astaghfirullah, semoga Allah mengampuniku.

Selasa, 24 Agustus 2010

Menunggu…

Menunggu itu suatu hal yang menyakitkan bagi banyak orang karena mereka tak tahu ada kepastian apa dari menunggu itu…

Namun halnya bagiku. Ada kalanya menunggu selalu memunculkan kebosanan dalam diriku. Tapi menunggu juga merupakan keahlian untuk menanti sesuatu yang memang harus kunanti. Menanti kepastian dengan kesabaran. Mungkin tak ada hal yang bisa kita lakukan dengan menunggu. Tapi jika kita mau berfikir tentang hidup ini. Kadangkala kita memang dituntut untuk menunggu. Bersabar dengan segala ketentuannya. Bersyukur dengan segala limpahan kenikmatan yang diberikan olehNya. Dan menunggu datangnya kenikmatan atau musibah yang akan menghadang di depan. Karena dengan menunggu, kita juga belajar untuk siap. Mempersiapkan segala kemungkinan akan segala kejadian yang juga masih berupa kemungkinan.

So, buat siapapun yang merasa menunggu itu adalah suatu hal yang sia-sia. Ketahuilah, bahwa disana ada banyak makna dari menunggu itu. Allah tidak akan memberikan kesia-siaan, tapi bagaimana kita mengolah suatu hal yang terlihat sia-sia itu (red: menunggu), menjadi suatu kegiatan untuk mengingat bahwa kita membutuhkan planning (red: rencana) untuk menentukan arah yang akan dituju. Bersabarlah dengan menunggu. Namun jangan terlena olehnya, karena kitapun dituntut untuk dapat gesit bergerak maju.

REBAH

oleh Eka Santi Wahyuni pada 24 Agustus 2010 jam 11:56

Rebah...

Hati ini rebah

Tenggelam dalam bisu

Bisu dalam diam

Lelah...

Hati ini lelah

Sejenak membuncah

Sejenak melemah

Semua mengumpat

Mata mengumpat

Telinga mengumpat

Hidung mengumpat

Mulut mengumpat

Tangan mengumpat

Kaki mengumpat

Dan hati...

Ia hanya merebah

Meluruh dalam harap

Melarung dalam doa

Pasrah...

Senin, 23 Agustus 2010

BALADA SEMUT MERAH DAN HITAM


oleh Eka Santi Wahyuni pada 22 Agustus 2010 jam 11:22 p.m

Hitaaam...

Blub blub blub blub

Blub blub blub blub

Hitaaam...

Masih terdengar jelas suara itu

Tapi, blub blub blub blub

Hitaaam...

Sesak semakin menyesak

Semua masuk semua keluar

Hitaaam...

Mencoba bertahan

Tapi tak dapat melawan kuasa Tuhan

Hitaaam...

Semua tiba-tiba sunyi

Dan gelap

Maafkan aku, hitaaam...

Dalam satu isak tangis si Merah

Dalam satu tatap nanarnya

Hitam melarut

Laju dalam pekat

Air selokan




Kamis, 19 Agustus 2010

IBU

Ibu.
Ku yakin kau yang melahirkan aku.
Dengan perjuangan yang hampir menyeret nyawamu.
Begitu letih, capai, lelah di waktu siang dan malam saat kau mengandung ku.
Makan ga lezat, minum tidak segar kau perjuangkan selama 9 bulan.

Ibu.
Terimakasih kau telah melahirkan aku, 2 tahun kau menyusuiku
Lalu kau asuh aku dengan kasih sayangmu, Sehingga aku jadi anak yang berbakti padamu
Dengan kelemah lembutanmu kau didik aku, Sehingga aku jadi manusia yang dewasa
Dengan kearifan mu kau didik aku, Sehingga aku jadi manusia independent

Ibu
Maafkan lah atas tindakan aku mengkritrikmu
Sebuah kritikan yang punya kaki
Kembalilah kepada jalan Tuhanmu
Yang Maha Pengampun
Berbeloklah menuju jalan Tuhanmu
Yang telah menciptakan bumi sebagai tempat tidur

Yaa Robbi
Ampunilah segala khilaf ibu aku
Aku tahu bahwa ibuku salah
Yaa Robbi, Kembalikanlah sifat kelemahlembutan ibuku yang dulu buat mengasuh aku
Tiupkanlah cahaya keberanian dan kearifan sebagaimana yang pernah ada
Sewaktu aku masih umur 2 tahun yang digunakan untuk mendidik aku

Yaa Robbi Yang Mahakuasa
Aku tahu, ibuku adalah hambamu yang Kau ciptakan
Yaa Robbi Yang Maha Pengampun lagi Penyayang
Aku tahu, ibuku adalah seorang makhluk yang Kau hadirkan di muka bumi
Berikanlah maghfiroh dan gumpalan pahala

Sebuah lamunan untuk mengingat ibu, di penghujung bulan Mei 2008 jam 7 an pagi. Sambil sarapan pagi dengan sambal terasi dan lauk tempe.